Kamis, 12 Januari 2012

TEORI TEORI KONSELING


Konseling sudah cukup banyak dikenal orang, khususnya dalam dunia psikologi. Saat ini konselingbanyak digunakan oleh para profesional konselor dalam rangka membantu individu menyelesaikanmasalahnya. Selain itu, dalam dunia pendidikan juga konseling juga diaplikasikan oleh pihak sekolah. Halini disebabkan karena konseling dipandang penting dalam membantu siswa menjadi seorang pribadi yangdewasa dan matang.Konseling muncul dengan didasarkan pada berbagai teori.
Banyak teori yang digunakan dalamrangka pelayanan konseling. Winkel (1997:373) menyatakan bahwa teori konseling adalah suatukonseptualisasi atau kerangka acuan berpikir tentang bagaimana proses konseling berlangsung; apa yangterjadi selama proses konseling, perubahan yang bagaimana yang dituju, mengapa perubahan itu dapatterjadi, dan apa unsur-unsur yang memegang peranan pokok. Dewasa ini jumlah teori konseling yang dikemukakan oleh para ahli sudah cukup banyak.
Teori-teori konseling tersebut dikemukakan berdasarkan sudut pandang para ahli dan disesuaikan dengankeadaan pada saat ahli tersebut hidup.Dengan perbedaan isi atau metode dari masing-masing teori tersebut, maka berikut akan disajikanberbagai teori-teori konseling. Teori yang disajikan dalam bagian ini adalah teori-teori konseling yangdipelajari oleh mahasiswa/calon konselor di LPTK, dalam hal ini di Prodi Bimbingan dan KonselingUniversitas Sanata Dharma, yang nantinya akan dipraktikkan dalam program PPL-BK di sekolah menengah.Teori-teori tersebut adalah

1. Client-Centered Counseling
Konseling ini dipelopori oleh Carl Rogers yang dulunya dikenal dengan istilah konseling nondirektif. Konseling ini didasarkan atas keyakinan bahwa manusia memiliki hak atas diri sendiri dan mandiri sehingga di dalam proses konseling, konselor berusaha untuk membantu konseli agar tersadar dengan masalah mereka dan mampu memecahkan masalah mereka dengan kemampuan mereka sendiri. Fokus utama : perubahan dalam perilaku dengan mengubah cara orang berperasaan tentang diri sendiri. Konseli berperan penting di dalam proses konseling.

2. Trait-Factor Counseling
Pelopor yang paling terkenal dari teori ini adalah Edmund Griffith (E.G.) Williamson yang lahirpada tanggal 14 Agustus 1900 di Rossville, Illionis, dan meninggal pada tanggal 30 Januari 1979. Teori inijuga menekankan pada pemahaman diri melalui test psikologis dan menerapkan pemahaman tersebutuntuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh konseli, terutama yang berkaitan dengan pilihanprogram studi atau bidang pekerjaan. Yang dimaksud dengan trait adalah suatu ciri yang khas bagiseseorang dalam berpikir, berperasaan, dan berperilaku. Ciri-ciri ini dianggap sebagai suatu dimensikepribadian yang masing-masing membentuk suatu kontinum atau skala yang terentang dari sangat tinggisampai sangat rendah (Winkel, 1997:388). Ciri-ciri inilah yang akhirnya disebut sebagai factors.
Teori ini bertujuan untuk membantu konseli dalam membuat keputusan atas alternatif pilihanyang berkaitan dengan pekerjaan/jabatan yang diinginkan. Implikasinya dalam dunia pendidikan adalahmembantu siswa dalam membuat keputusan atas pilihan jurusan atau program studi yang diharapkan dandengan bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh siswa tersebut. Jadi, teori ini bertujuan untuk membantumengatasi masalah yang dihadapi konseli yang termasuk dalam ragam bimbingan karier (Winkel dan SriHastuti, 2004:438-439).
Teori ini merupakan directive counseling atau Counselor-Centered Counseling, dimana konselor secara sadar mengadakan strukturalisasi dalam proses konseling dan berusaha mempengaruhi arah perkembangan konseli demi kebaikan konseli tersebut. Dalam proses wawancara konseling, konselor harus melakukan langkah-langkah yaitu membantu konseli mengumpulkan dan mengolah data tentang dirikonseli (data psikologis); data lingkungan hidup yang meliputi data konkret tentang lingkungan keluarga,masyarakat dan lingkungan bidang studi yang sedang ditinjau (data sosial). 

3. Konseling Behavioristik (Behavioristic Counseling)
Istilah Konseling Behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris Behavioral Counseling yangpertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz (1964) yang juga promotor utama aliran ini. Beberapatokoh yang mengembangkan aliran ini adalah Dollar dan Miller, Wolpe, Lazarus, Eysenck, Thoresen, Bandura, Goldstein, Yates serta Dustin dan George.
Pendekatan ini menitikberatkan pada perubahan nyata dalam perilaku konseli sebagai hasil darikonseling. Pendekatan ini juga menekankan bahwa hubungan antarpribadi tidak dapat diteliti secarailmiah, sedangkan perubahan nyata dalam perilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah.Pendekatan ini merupakan kebalikan dari pendekatan yang memandang hubungan antarpribadi antarakonselor dan konseli sebagai komponen utama dan mutlak serta sekaligus cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang. Keyakinan dasar yang dipegang dalam pendekatan ini adalah bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari suatu proses belajar, maka dapat diubah dengan belajar baru(Winkel dan Sri Hastuti, 2004).
Maka, konseling behavioristik memiliki ciri-ciri, antara lain (Latipun, 2001:113):a.Berfokus pada perilaku yang tampak atau nyatab.Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan terapeutik/konselingc. Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah konseli. Penafsiran objektif atas tujuan terapeutik/konseling.
Jadi berdasarkan penjelasan di atas, dalam konseling behavioristik perumusan tujuan secaraspesifik lebih penting dibandingkan dengan proses hubungan konseling. Hal ini dikarenakan masalah dansituasi yang dihadapi oleh masing-masing konseli berbeda-beda, sehingga tujuan yang hendak dicapaimasing-masing pribadi juga berbeda sesuai dengan masalah dan kondisi yang dihadapi oleh konselitersebut. Tujuan konseling behavioristik sendiri adalah membantu konseli untuk mengubah perilaku salahsuai atau perilaku maladaptif dengan cara mempertahankan dan memperkuat  perilaku yang diharapkan,meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku yang tepat(Corey (2003), Latipun (2001), Wilis (2004)).

4.  Rational-Emotive Therapy (RET)
Pelopor dan peletak dasar konseling ini adalah Albert Ellis. Beliau lahir pada tahun 1913 di Pittsburgh, Pennsylvania dan dibesarkan di New York. RET merupakan sebuah terapi atau corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berpikir dan akal sehat (rational thinking), berperasaan(emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa perubahan yang mendalam dalamcara berpikir dapat menghasilkan perubahan berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku (Winkel,1997, 144). Menurut Ellis (1994) perilaku seseorang khususnya yang berkaitan dengan emosi, bukan disebabkan secara langsung oleh peristiwa yang dialaminya, melainkan karena cara berpikir atau system kepercayaan seseorang (rasional atau irrasional) (Latipun, 2001: 93). Jadi tujuan dari RET adalah untuk memperbaiki dan mengubah sikap, cara berpikir, persepsi, keyakinan serta pandangan konseli yangirrasional menjadi rasional, sehingga ia dapat mengembangkan dirinya dan mencapai realisasi diri yangoptimal (Wilis, 2004: 76).
RET dalam teori-teori konseling dan psikoterapi dikelompokkan sebagai terapi kognitif-behavior,karena terapi ini berasal dari aliran pendekatan kognitif-behavioristik. Maka, RET juga sering disebut jugadengan nama lain seperti Rational Therapy, Rational Emotive Behavior Therapy, Cognitif BehaviorTherapy, Semantic Therapy, dan Rational Behavior Training.
Menurut Ellis (1994) ada tiga hal terkait dengan perilaku yang juga menjadi konsep dasar RET atau yang sering disebut sebagai konsep A-B-C, yaitu activating event atau activating experience (A) yang merupakan peristiwa atau pengalaman tertentu yang menjadi pendahulu berupa fakta, peristiwa, atausikap orang lain. Belief (B) yakni keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa atau pengalaman. Keyakinan manusia pada dasarnya ada dua yaitu keyakinan yang rasional atau masuk akal (rational belief/rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief/iB). Consequence (C) merupakan konsekuensi sebagai akibat atau reaksi individu dalam hubungannya dengan A. Jadi, C pertamakali ditimbulkan oleh B, baik rB ataupun iB terhadap A.
Dalam memberikan pelayanan kepada konseli dengan pendekatan ini, konselor hendaknya berpegang pada konsep dasar di atas dengan menambahkan unsur D (dispute) dan E (Effects). Dispute merupakan usaha yang dilakukan oleh konselor dalam membantu konseli untuk mengubah pikirannya yangirrasional dengan cara mendiskusikan secara terbuka dan terus terang dengan konseli. Effects adalah hasil-hasil yang diperoleh dari proses diskusi bersama konseli, hasil tersebut (seharusnya/harapannya) berupa pikiran yang lebih rasional dan perasaan yang lebih wajar serta perilaku yang lebih tepat dan sesuai.

5.  Konseling Eklektik
Konseling eklektik (Eclectic Counseling) mulai dikembangkan sejak tahun 1940-an oleh FrederickThorne yang merupakan promotor utama dari corak konseling ini. Corak konseling ini menunjukkan suatusistematika dalam konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan yang merupakanperpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan. Dengankata lain, konseling eklektik merupakan pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode,teori atau doktrin yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yangtepat dalam rangka membantu konseli menyelesaikan masalahnya. Hal ini mendasarkan pada pandanganbahwa semua teori konseling yang ada pastilah memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.Atau terkadang konselor merasakan adanya pembatasan apabila hanya menggunakan satu teori ataupendekatan saja dalam proses konseling. Latipun (2001:135) mengemukakan hal yang sama, yakni bahwapendekatan konseling eklektik merupakan sebuah pendekatan konseling yang didasarkan pada berbagaikonsep dan tidak berorientasi pada satu teori secara eksklusif. Sebuah teori itu memiliki keterbatasankonsep, prosedur dan teknik, serta kelebihan dan kelemahan. Karena itu pendekatan konseling eklektikmempelajari teori dan menerapkannya sesuai dengan keadaan riil konseli.
Berkaitan dengan pendekatan eklektik ini, Winkel (1997) mengusulkan suatu pola pendekatan yang lebih memungkinkan untuk diterapkan di institusi pendidikan. Pola tersebut adalah pola yang memungkinkan konselor melayani suatu kasus yang penyelesaiannya terutama terdiri atas pilihan di antarabeberapa alternatif (a choice case). Dalam pola ini, konselor melaksanakan wawancara konseling untuk membuat suatu pilihan (Decision Making Interview). Dalam pola ini, langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membantu konseli adalah peninjauan pro dan kontra dari alternatif oleh konseli, kemudian dinilaidari sudut pandang “Bisa dipilih?; mungkin untuk dipilih?” (Possible?), selanjutnya “Ingin dipilih?”(Desirable?), dan yang terakhir adalah “Kalau dipilih, akan membawa hasil yang diharapkan?” (Feasible)
Pola yang kedua adalah pola yang memungkinkan konselor melayani suatu kasus yangpenyelesaiannya terutama menuntut perubahan sikap serta tindakan penyesuaian diri terhadap situasikehidupan yang tidak dapat diubah dan harus diterima seadanya (a change case). Dalam pola ini, konselormelaksanakan wawancara konseling untuk penyesuaian diri (Interview for Adjustment). Untuk kasus ini,konselor membantu konseli untuk meninjau kembali sikap dan pandangannya sampai sekarang sertamemikirkan sikap dan tindakan yang lebih baik.
Teori konseling di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak teori konseling yang ada saat ini.Teori di atas merupakan dasar yang paling sering digunakan di dunia pendidikan.Semoga sedikit berguna bagi yang membacanya

Daftar Pustaka
Winkel, W.S. (2010). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar